Selasa, 15 Januari 2013

KONSEP DIRI (William H. Fitts)


Seorang ahli yang akan digunakan dalam penelitian tentang konsep diri adalah William H. Fitts, memberikan pengertian mengenai konsep diri sebagai berikut:
“…the self as seen, perceived and experienced by him. This is the perceived self or the individual’s self concept.”(Fitts, 1971:3)
Konsep diri adalah sebagaimana diri dipersepsikan, diamati, serta dialami oleh individu. Konsep diri merupakan susunan pola persepsi yang terorganisir.
Fitts (1971) meninjau konsep diri secara fenomenologis yaitu bahwa diri (self) atau konsep diri merupakan aspek penting dalam diri sesesorang, karena konsep diri merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dengan lingkungan. Fitts juga menambahkan jika individu mempersepsikan diri, bereaksi terhadap dirinya, maka hal ini menunjukan suatu kesadaran diri (self awareness) dan kemampuan untuk keluar dari diri sendiri, hal ini sebagaimana dilakukan terhadap obyek-obyek lain dilingkungannya.
Terdapat beberapa pengertian konsep diri dari para ahli antara lain :
·         The self is the individual as know to the individual (Murphy;dalamBurns, 1947)
Konsep diri adalah gambaran diri yang yang diketahui oleh dirinya.
·         “Organized congfiguration of perception of self as those perceptions, beliefs, feelings, attitudes, and value which the individual views as part or characteristics of himself”. (Rogers, dalam Burns, 1963)

Konsep diri adalah gambaran diri yang diketahui oleh dirinya, diorganisasikan melalui persepsi mengenai dirinya, keyakinan, perasaan, sikap dan nilai yang di pandang individu sebagai bagian dari karekteristiknya.
Dengan demikian konsep diri merupakan persepsi individu terhadap dirinya sendiri, yang meliputi gambaran, penilaian serta keyakinan terhadap dirinya sendiri secara menyeluruh. Di dalam konsep diri bukan hanya berisi gambaran mengenai diri, tetapi juga terdapat kandungan evaluasi serta emosi-emosi mengenai diri.
2.1.2.   Dimensi –Dimensi  Konsep Diri
            Menurut Fitts (1971), konsep diri ini terbagi menjadi 2 dimensi pokok yaitu
  1. Dimensi internal adalah keseluruhan penghayatan pribadi sebagai kesatuan yang unik. Penilaian diri berdasarkan dimensi internal ini meliputi penilaian seseorang terhadap identitas dirinya, kepuasan diri dan tingkah lakunya. Dimensi ini terdiri dari 3 bentuk:
a.       Diri identitas ( identity self)
Diri sebagai identitas merupakan aspek dasar dari konsep diri. Dalam diri identitas, terkumpullah seluruh label dan symbol yang dipergunakan seseorang untuk menggambarkan dirinya yang didasarkan pada pertanyaan : “Siapakah saya?”. Label yang melekat pada diri seseorang dapat berasal dari orang lain atau orang itu sendiri. Semakin banyak label yang dimiliki seseorang, maka semakin terbentuklah orang itu untuk mencari jawaban tentang identitas dirinya.
Diri identitas dapat mempengaruhi cara seseorang berinteraksi dengan lingkungan dan juga dengan dirinya sendiri. Dengan demikian, diri identitas mempunyai hubungan dengan diri pelaku dan hubungan ini umumnya berlaku timbal balik, seperti yang dikemukakan oleh Fitts (1971).
b.      Diri perilaku (behaviour self)
Diri pelaku merupakan persepsi seseorang terhadap tingkah lakunya atau caranya bertindak, yang terbentuk dari suatu tingkah laku biasanya diikuti oleh konsekuensi-konsekuensi dari luar diri, dari dalam diri sendiri atau dari keduanya. Konsekuensi menentukan apakah suatu tingkah laku cenderung dipertahankan atau tidak. Disamping itu juga menetukan apakah tingkah laku tersebut akan diabstraksikan, disimbolisasikan dan dimasukkan kedalam diri identitas seseorang. Contohnya, seorang anak kecil mempunyai dorongan untuk berjalan. Ketika ia bisa berjalan ia merasa puas, dan lama kelamaan kemampuan berjalan serta kesadaran bahwa ia bisa berjalan merupakan label baru yang ada dalam diri identitasnya. Tindakkan berjalan itu sendiri merupakan bagian dari diri pelakunya.
c.       Diri penerimaan  atau penilaian ( judging self )
Penilaian diberikan terhadap label-label yang ada dalam identitas diri pelaku secara terpisah, contohnya, seseorang menggambarkan dirinya tinggi dan kuat (identitas diri); selain itu gambaran diri juga disertai perasaan suka atau tidak suka terhadap bentuk tubuhnya. Seseorang merasa tegang dan letih (diri pelaku); ia juga memikirkan apakah perasaannya baik atau tidak. Selain itu, penilaian juga dapat diberikan kepada kedua macam bagian diri sekaligus. Misalnya, seseorang berkata, saya melakukan ini dan saya nakal”. Hal ini berarti orang tersebut memberikan label secara keseluruhan dirinya, bukan terhadap tingkah laku tertentu. Atau orang itu bisa juga mengatakan, “saya melakukan ini, tetapi saya bukan orang yang biasa berbuat demikian”. Hal ini berarti bahwa orang itu tidak setuju dengan tingkah lakunya.
  1. Dimensi eksternal
Pada dimensi eksternal, individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya serta hal-hal diluar dirinya dimensi ini merupakan suatu hal yang luas, misalnya diri berkaitan dengan sekolah, organisasi, agama dan sebagainya. Dimensi ini dibedakan atas 5 bentuk yaitu:
a.         Diri Fisik (Physical self), merupakan persepsi seseorang terhadap keadaan fisik, kesehatan, penampilan diri dan gerak motoriknya.
b.         Diri Moral-Etik (Moral-Ethic self), merupakan persepsi seseorang tentang dirinya ditinjau dari standar pertimbangan nilai-nilai moral dan etika. Hal ini seperti bagaimana hubungan orang tersebut dengan Tuhan, rasa puas seseorang terhadap kehidupan beragamanya, nilai-nilai moral yang dianutnya, dan perasaan sebagai orang jahat atau orang baik.
c.         Diri Personal (Personal self), merupakan perasaan individu terhadap nilai-nilai pribadi, terlepas dari keadaan fisik dan hubungannya dengan orang lain dan sejauhmana ia merasa adekuat sebagai pribadi.
d.        Diri Keluarga (Family self), merupakan perasaan dan harga diri seseorang sebagai anggota keluarga dan teman-teman dekatnya. Sejauhmana dirinya merasa adekuat sebagai anggota keluarga dan teman-teman.
e.         Diri Sosial (Social self), merupakan penilaian seseorang terhadap dirinya dalam berinteraksinya dengan orang lain dalam lingkungan yang lebih luas.
2.1.3.      Perkembangan Konsep Diri
Menurut William H. Fitts (1971), Konsep diri seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut :
a.       Pengalaman yang diperoleh dalam kehidupan, karena konsep diri adalah hasil dari sebuah interaksi individu dengan lingkungannya, maka pengalaman interpersonal merupakan faktor yang paling penting bagi perkembangan konsep diri seseorang.
b.      Kompetensi dalam bidang tertentu, mengenai kemampuan individu yang ditampilkan sehingga mendapatkan penghargaan atau pengakuan dari orang lain.
c.       Aktualisasi diri, realisasi dari potensi-potensi fisik maupun psikologis yang ada pada diri individu untuk mencapai tujuannya.

Perkembangan konsep diri merupakan proses yang berlanjut disepanjang kehidupan manusia.  Fitts (1971) mengatakan bahwa persepsi tentang diri tidak muncul pada saat kelahiran tetapi mulai berkembang secara bertahap dengan munculnya kemampuan persepsi. Diri (self) berkembang ketika individu merasakan berbeda dengan orang lain. Ketika ibu mulai dikenali sebagai seorang yang terpisah dari dirinyadan ia mulai mengenali wajah-wajah orang lain, seorang bayi membentuk pandangan yang kabur tentang dirinya sebagai seorang individu.
Pada usia 6 sampai 7 bulan, batas- batas dari diri individu mulai menjadi lebih jelas sebagai hasil dari eksplorasi dan pengalaman dengan tubuhnya sendiri. Selama periode awal kehidupan, konsep diri individu sepenuhnya didasari oleh persepsi individu tentang dirinya. Kemudian dengan bertambahnya usia, pandangan tentang diri ini menjadi lebih banyak didasari oleh nilai- nilai yang diperoleh dari interaksi dengan orang lain.
Selama masa anak-anak sampai remaja mengindentifikasikan diri pada keadaan di lingkungan, remaja mulai meniru bentuk-bentuk tingkah laku kelompok teman sebaya . Pada akhir masa remaja, konsep diri mulai cenderung menetap dan mulai usia 25-30 tahun biasanya konsep diri orang dewasa tidak mengalami perubahan lagi kecuali ia mengalami sesuatu hal yang penting yang berpengaruh pada kehidupannya
2.1.4.   Hal-Hal Yang Mempengaruhi Konsep Diri
Menurut Hurlock (1999) pada masa remaja terdapat delapan kondisi yang mempengaruhi konsep diri yang dimilikinya, yaitu:
1.    Usia kematangan
Remaja yang matang lebih awal dan diperlakukan hampir seperti orang dewasa akan mengembangkan konsep diri yang menyenangkan sehingga dapat menyesuaikan diri dengan baik. Tetapi apabila remaja matang terlambat dan diperlakukan seperti anak-anak akan merasa bernasib kurang baik sehingga kurang bisa menyesuaikan diri.
2.    Penampilan diri
Penampilan diri yang berbeda bisa membuat remaja merasa rendah diri. Daya tarik fisik yang dimiliki sangat mempengaruhi dalam pembuatan penilaian tentang ciri kepribadian seorang remaja.
3.    Kepatutan seks
Kepatutan seks dalam penampilan diri, minat dan perilaku membantu remaja mencapai konsep diri yang baik. Ketidak patutan seks membuat remaja sadar dari dan hal ini memberikan akibat buruk pada perilakunya.
4.    Nama dan julukan
Remaja peka dan merasa malu bila teman-teman sekelompoknya menilai namanya buruk atau bila mereka memberi nama dan julukan yang bernada ejekan.
5.    Hubungan keluarga
Seorang remaja yang memiliki hubungan yang dekat dengan salah satu anggota keluarga akan mengidentifikasikan dirinya dengan orang tersebut dan juga ingin mengembangkan pola kepribadian yang sama.
6.    Teman-teman sebaya
Teman sebaya mempengaruhi pola kepribadian remaja dalam dua cara. Pertama, konsep diri remaja merupakan cerminan dari anggapan tentang konsep teman-teman tentang dirinya dan yang kedua, seorang remaja berada dalam tekanan untuk mengembangkan ciri-ciri kepribadian yang diakui oleh kelompok.
7.    Kreativitas
Remaja yang semasa kanak-kanak didorong untuk kreatif dalam bermain dan dalam tugas-tugas akademis, mengembangkan perasaan individualitas dan identitas yang memberi pengaruh yang baik pada konsep dirinya. Sebaliknya, remaja yang sejak awal masa kanak-kanak didorong untuk mengikuti pola yang sudah diakui akan kurang mempunyai perasaan identitas dan individualitas.

8.    Cita-cita
Bila seorang remaja tidak memiliki cita-cita yang realitik, maka akan mengalami kegagalan. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak mampu dan reaksi-reaksi bertahan dimana remaja tersebut akan menyalahkan orang lain atas kegagalannya. Remaja yang realitas dalam kemampuannya akan lebih banyak mengalami keberhasilan daripada kegagalan. Hal ini akan menimbulkan kepercayaan diri dan kepuasan diri yang lebih besar yang memberikan konsep diri yang lebih baik.

SUMBER : 

Burns, R. B. (1993). Konsep Diri (Teori Pengukuran, Perkembangan dan Perilaku). Jakarta. Arcan.

Fitts, H. William. (1971). The Self Concept and Self Actualization, Los Angeles, California. 

5 komentar:

  1. whhaa... bagus banget.. materinya sesuai dengan yg dicari..

    kaka boleh minta referensinya???..

    BalasHapus
  2. mau tanya..
    teoriny william fitt ini dari mana y referensinya..
    sedang kesulitan mncari referensi ttg william fitt mas..
    makasii sebelumnya.. :)
    by yukha

    BalasHapus
  3. maaf mau tanya..
    teorinya william fitt ini dari mana y referensinya atau bukunya?
    daftar pustakanya klo ada.. makasih

    BalasHapus
  4. Slmt malam, maaf mau bertanya adakah yang mempunyai referensi brpa jurnal/buku dari konsep diri, lebih bgs lgi kalau pnya jurnal dri konsep diri. terima kasih

    BalasHapus