2.1.
Body
image
2.1.1
Pengertian Body
image
Konsep body image telah banyak digunakan oleh
para ahli untuk meneliti penghayatan manusia tentang tubuhnya sendiri. Body image adalah fenomena multidimensi
yang melibatkan aspek kognitif, afektif dan attitude. (Cash, 2002)
“Body image is a complex concept that affect how people feel about
themselves how they behave. It has been defined as “ the picture of our own
body which we form in our mind” (Cash
and Pruzinsky, 1990)”
Yang berarti body image merupakan konsep yang
kompleks yang mempengaruhi bagaimana perasaan seseorang mengenai tubuhnya dan
bagaimana mereka bertingkah laku. Dapat didefinisikan sebagai “gambaran tubuh
seseorang yang dibentuk melalui pikirannya sendiri” (Cash & Pruzinsky,
1990).
Menurut Keaton, Cash
dan Brown mengatakan body image
memiliki dua komponen yaitu :
1.
Komponen persepsi, meliputi bagaimana individu menggambarkan
kondisi fisiknya yaitu mengukur tingkat keakuratan persepsi seseorang dalam
mengestimasi ukuran tubuh seperti tinggi atau pendek, cantik atau jelek, putih
atau hitam, kuat atau lemah. Bila ada gangguan pada komponen persepsi, maka
gangguan body image yang dialami
adalah distorsi body image. Apabila
individu mengalami distorsi body image
(body image distortion) maka ia tidak
mampu memperkirakan (mengestimasi) ukuran tubuhnya secara tepat (Cash dkk, 2003). Komponen persepsi
dalam body image melibatkan komponen sensory dan non sensory. Komponen sensory
mengacu pada respon sistem penglihatan, termasuk retina dan korteks. Sedangkan
komponen nonsensory kadang-kadang
dikarakteristikan sebagai faktor kognitif atau afektif yang mengacu pada
interpretasi otak pada input visual.
2.
Komponen sikap, yaitu berhubungan dengan kepuasan dan
ketidakpuasan individu terhadap bagian-bagian tubuh yang meliputi wajah, mata,
bibir, hidung, mata, rambut dan keseluruhan tubuh yang meliputi proporsi tubuh,
bentuk tubuh, penampilan fisik. Bila ada gangguan pada komponen sikap, maka
gangguan body image yang dialami
adalah ketidakpuasan tubuh (body image dissatisfaction),
ketidakpuasan body image dapat
dilihat dari bagaimana individu menilai tubuhnya. Bila individu menilai
penampilan tidak sesuai dengan standar pribadinya, maka ia akan menilai rendah
tubuhnya. Ketidakpuasan individu terhadap tubuhnya dapat menyebabkan individu
mempunyai harga diri yang rendah atau bahkan depresi, kecemasan sosial dan
menarik diri dari situasi sosial (Cash dkk, 2003). Jadi ketidakpuasan akan
bentuk tubuh muncul jika ada gangguan pada komponen sikap.
Muth & Cash (1997)
Komponen sikap body image terdiri
dari dua dimensi, yaitu body image
evaluation dan body image investment.
Evaluasi mengarah pada penilaian
individu mengenai penampilan fisiknya yang menghasilkan perasaan kepuasan dan
ketidakpuasan tubuh. Cash & szymanski (1995 dalam Cash, 2002) menyatakan
bahwa evaluasi body image berakar dari derajat kesenjangan dan
kesesuaian antara karakter fisik diri yang diyakini individu dan nilai fisik
ideal yang dihargai oleh individu. Dimensi evaluation/affect
terdiri dari sejumlah konsep seperti kepuasan tubuh secara global, emosi
yang kaitannya dengan self-evaluation tubuh,
ketidakpuasan terhadap beberapa aspek tubuh, kesenjangan antara persepsi tubuh
dan tubuh ideal yang diinternalisasikan, serta penilaian kognitif yang
berkaitan dengan penampilan. Ketidakpuasaan body
image yang diungkapkan melalui dimensi evaluasi merupakan aspek yang
penting karena diyakini dapat menangkap pengalaman internal individu
(Thompson,1999)
Sedangkan body image investment mengacu pada
penilaian individu terhadap tubuhnya melalui pikiran, perasaan, maupun tindakan
seseorang dalam usaha untuk mengatur dan meningkatkan penampilannya. Dimensi
investment meliputi penilaian kognitif seseorang pada penampilan, perhatian
pada penampilan, pentingnya penampilan pada diri seseorang dan manifestasi
tingkah laku seseorang dalam usaha untuk mengatur dan meningkatkan
penampilannya (Muth & Cash, 1997).
Beberapa strategi yang
dilakukan dalam investment adalah :
1.
Suplemen
Penggunaan suplemen
merupakan salah satu cara yang digunakan untuk meningkatkan ukuran tubuh dan
otot. Seperti :
-
Creatin, adalah suplemen yang digunakan untuk meningkatkan dan membentuk
otot-otot.
-
Ephedrine, adalah suplemen yang digunakan untuk menurunkan lemak tubuh.
Biasanya suplemen ini digunakan oleh laki-laki yang melakukan fitness. Ephedrin merupakan zat
dengan struktur kimia yang mirip dengan amfetamin dan bertindak sebagai
stimulan sistem saraf simpatik (Rawson & Clarkson, 2000). Ephedrin menimbulkan efek samping terhadap fisik dan psikologis seperti : mudah tersinggung, sulit tidur, ketergantungan,
sakit kepala, mual, muntah, gelisah, dan gangguan saluran kemih (Physician.s Desk Reference, 2000). Bahkan bisa menimbulkan masalah yang lebih serius meliputi psikosis, kejang, stroke, infark miokard, dan kematian (Rawson & Clarkson, 2000).
-
insulin, merupakan jenis suplemen lain yang juga digunakan untuk meningkatkan
masa tubuh. Pada penelitian O’Dea and Rawstorne (2001) menemukan bahwa 5%
laki-laki remaja dalam penelitian mereka dilaporkan menggunakan obat-obatan
seperti pil atau insulin, untuk meningkatkan masa tubuh mereka. Prohormones
merupakan hormon sintetis yang memiliki struktur kimia yang mirip dengan
steroid anabolic. Prohormones zat ilegal seperti steroid dan sudah tersedia
untuk pembelian di toko nutrisi. Penggunaan prohormon memiliki efek samping
pada tubuh, efek yang ditimbulkannya sama seperti penggunaan steroid (King et
al, 1999.).
-
Anabolic steroid (untuk menambah masa otot) dll. Anabolic
steroid dapat bekerja dengan cepat dan dapat menghasilkan otot lebih besar.
Manfaat yang didapat dari penggunaan steroid yaitu menurunnya
presentase lemak dalam tubuh,
kekuatan meningkat, dan meningkatkan otot tanpa lemak (Kulipers, Wijnen, Hartgens, & Willems, 1991). Peningkatan ukuran dan kekuatan otot tersebut tidak
menetap maksudnya harus menggunakan steroid secara terus-menerus, apabila
penggunaan dihentikan maka akan terjadi penurunan pada otot (Evans, 1997). Penelitian menemukan bahwa individu yang
menggunakan steroid memiliki perasaan puas pada ukuran tubuhnya dibandingkan dengan individu yang tidak menggunakan steroid (Brower dkk, 1994.). sehingga dapat menyebabkan kecanduan bagi
individu yang menggunakannya. Namun, Kecanduan ini dapat membahayakan individu
karena penggunaan steroid dalam jangka panjang dapat menimbulkan efek samping
terhadap fisik dan psikologisnya. Efek samping terhadap fisik seperti jerawat, gynaeocomastia, stretch marks, sterility (kemandulan),
jantung, diabetes, dan kanker. Sedangkan efek psikologis yang ditimbulkan
seperti depresi, kecanduan, agresi, psikosis, bahkan sampai bunuh diri (Blouin & Goldfield, 1995; Brower et
al, 1994). Oleh karena itu, penggunaaan suplemen adalah
strategi investasi yang penting untuk mengukur tingkat keinginan
seseorang untuk menjadi berotot.
2.
Diet,
merupakan strategi investmen lain yang digunakan individu. Berbagai macam diet
dilakukan oleh individu untuk mencapai berat badan yang diinginkan. Penelitian
menemukan bahwa banyaak dari individu yang melakukan diet dengan cara tidak
sehat, seperti : membatasi asupan makanan (guna menurunkan berat badannya),
diet protein tinggi pada laki-laki yang ingin meningkatkan masa ototnya (hanya
makan makanan yang tinggi kalori), diet dua tahap (melakukan diet tinggi kalpri
dan diet menurunkan berat badan secara bersamaan) seperti melakukan diet dan
olahraga untuk menurunkan lemak tubuh dan meningkatkan otot. Diet akan
menimbulkan efek berbahaya pada individu seperti gangguan makan, bahkan bisa
gangguan mental (body image negatif).
3.
Latihan
fisik, merupakan strategi yang paling utama dalam invesmen yang mendapat
perhatian paling banyak dalam area body
image, seperti angkat beban, bodybuilding,
dan strategi perubahan tubuh lain yang dapat meningkatkan masa otot dan tubuh.
latihan fisik memiliki hubungan positif dengan kepuasan tubuh (Davis et al.,
1991; Hausenblas & Fallon, 2002) dan persepsi pada kemampuan olahraga, daya
tarik fisik, kekuatan, dan kondisi fisik. Berolahraga untuk kesehatan dan
kebugaran memiliki berkaitan dengan harga diri (McDonald & Thompson, 1992).
4.
Lainnya, seperti
penggunaan pakaian dan operasi plastik. Laki-laki memilih pakaian sesuai dengan
yang mereka butuhkan untuk menyembunyikan atau memperlihatkan bagian tubuh yang
mereka sukai (Frith & Gleeson, 2004). Kepercayaan tubuh pada laki-laki
berhubungan dengan jenis pakaian yang mereka pakai. Pada laki-laki yang
memiliki tubuh kurus atau tidak berotot, akan memakai pakaian yang agak besar.
Dan pada laki-laki yang memiliki tubuh dengan dada dan lengan yang berotot akan
memakai pakaian yang ketat agar bentuk tubuhnya terlihat. Pakaian merupakan
strategi invesmen yang terpenting yang mereka gunakan untuk mengubah penampilan
mereka ketika dilihat orang lain. Selain pakaian, operasi plastik juga
merupakan strategi invesmen yang digunakan laki-laki untuk mengubah penampilan
tubuhnya.
2.1.2
Teori Sosiokulultural
Walaupun ada beberapa
teori yang telah dikemukakan untuk menjelaskan masalah citra tubuh, banyak
peneliti yang berpendapat bahwa faktor masyarakat dan budaya memiliki pengaruh
yang kuat dalam membentuk, mengembangkan, dan mempertahankan masalah citra
tubuh pada masyarakat. Teori sosiokultural menyebutkan bahwa masyarakatlah yang
menentukan standar sosial mengenai apa yang cantik dan apa yang menarik
(Heinberg, dalam Thompson 1996). Thompson (1996) juga berpendapat bahwa norma
budaya memiliki peranan dalam mempengaruhi perkembangan tingkah laku dan sikap
yang berhubungan dengan citra tubuh.
Teori sosiokultural
juga menekankan pentingnya peran media dalam menyampaikan pesan-pesan yang
berkaitan dengan harapan tentang fisik ideal. Media menyediakan informasi yang
sangat banyak tentang cara memperoleh tubuh ideal, contohnya : melalui diet,
olahraga dan pemakaian suplemen. Akibatnya, banyak individu yang keliru karena
meyakini bahwa tubuh ideal yang ditampilkan tersebut mudah diperoleh dan hal
itu mempengaruhi sikap mereka terhadap tubuhnya (Thompson et al, 1999).
Dua teori berikut ini
merupakan perkembangan dari teori sosiokultural :
1.
Teori self discrepancy
Sejumlah peneliti
menggunakan alat ukur yang terdiri dari perbandingan ukuran tubuh yang
dipersepsikan dalam gambar skema dengan ukuran ideal yang dipilih (Fallon &
Rozin, 1985 dalam Thompson 1999). Berdasarkan penelitian ini dan besarnya
tekanan sosial budaya mengenai berat badan dan penampilan tubuh ideal, Thompson
(1999) menyusun hipotesis self-ideal
discrepancy untuk menjelaskan perkembangan gangguan citra tubuh. Teori ini
menekankan pada kecenderungan individu untuk membandingkan penampilan yang
mereka persepsikan dengan standar ideal yang mereka imajinasikan atau standar
ideal lain.
Teori self discrepancy menghubungkan jarak
antara persepsi konsep diri individu dengan standar pribadi individu tersebut.
Kesenjangan diri terfokus pada kecenderungan individu untuk membandingkan
penampilan yang mereka persepsi (aktual) dengan penampilan ideal yang mereka
bayangkan atau orang lain yang ideal (Cash & J.K Thompson, 1999).
Ideal self adalah representasi mental dari
harapan, mimpi dan aspirasi seseorang dan self
seringkali berupa image diri abstrak
di masa datang, sehingga dapat berubah-ubah sebagai suatu standar dalam
perbandingan dengan self real. Jika
terdapat diskrepansi antara real dan ideal self, individu akan merasa kecewa,
frustasi, sedih atau merasa ada kebutuhan yang tak terpenuhi. Pada kasus yang
ekstrim, individu dapat jadi depresi (Higgins,
et al, 1986.)
Berdasarkan teori ini,
individu yang mempersepsi dirinya cocok dengan yang ideal akan memiliki
diskrepansi yang kecil sehingga memiliki citra tubuh yang posittif. Namun pada
individu yang merasa dirinya tidak cocok atau memiliki diskrepansi yang besar
dengan gambaran ideal, akan memiliki citra tubuh yang negative (Henderson-King,
1997;dalam domil, 2003).
2.
Teori social comparisons
Teori social comparisonsi (perbandingan
social) dari Festinger (1954) menyatakan bahwa seseorang mengevaluasi kemampuan
dan opini dirinya dengan membandingkannya terhadap orang lain. Menurut
Festinger (1954, dalam Thompson 1996) manusia memiliki kecenderungan bawaan
untuk mendapatkan informasi mengenai dirinya melalui proses perbandingan social.
Proses ini terjadi ketika individu merasakan ketidakpastian atau ketidakjelasan
akan kemampuan atau opininya dan tidak tersedia fakta yang objektif mengenai
hal tersebut. Individu akan membandingkan dirinya dengan individu lain yang
serupa (similar other) yang relevan
(Goethals & Darley, 1977;C.T. Miller, 1984; Wheeler, et al., 1982 dalam Milfa Y.,2005). Goethals & Darley (1977
dalam Milfa Y.,2005) mendefinisikan similar
other sebagai individu yang memiliki atribut, sifat atau latar belakang
yang berhubungan dengan subyek. Misalnya, kesamaan dalam hal kondisi fisik,
kemampuan, opini, latar belakang budaya dan lain-lain.
Berdasarkan target
yang dipilih dalam social comparison, maka
perbandingan yang terjadi dapat berupa upward
comparisons atau downward comparisonsi.
Upward comparisons adalah
perrbandingan-perbandingan terhadap target yang dipersepsikan superior dalam
hal yang dibandingkan, sedangkan downward
comparisons adalah perbandingan yang dilakukan terhadap target yang
dipersepsikan inferior dalam hal yang dibandingkan. Sejumlah penelitian
menemukan upward comparisons sering
berhubungan dengan meningkatnya stress emosional dan menurunnya harga diri
(Thompsson, 1996).
Teori social comparisons menyebutkan bahwa
seseorang membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain dan image lain yang
mereka lihat mewakili tujuan yang dapat dicapai. Proses perbandingan ini
terjadi ketika seseorang merasa bahwa image ideal itu adalah similar other sehingga model dijadikan
target social comparisons. Namun
ketika ia merasa image ideal adalah yang tidak realistis dalam hal daya tarik
fisik, mungkin ia tidak membandingkannya dirinya dengan image tersebut karena
merupakan dissimilar other.
Sebuah penelitian
menemukan bahwa kecenderungan untuk membandingkan penampilan fisik dengan orang
lain tampaknya berhubungan kuat dengan ketidakpuasan tubuh (Striegel-Moore,
McAvey & Rodin, 1986 dalam Thompson 1999). Skor yang tinggi dalam
kecenderungan membandingkan penampilan fisik dengan orang lain sepertinya
berhubungan dengan skor yang tinggi dalam gangguan pada makan, harga diri,
serta ketidakpuasan tubuh (Heinberg & Thompson, 1992 dalam Thompson 1999).
Subyek yang membandingkan dirinya dengan orang lain yang lebih similar (seperti teman) menunjukkan
kecemasan dan stress yang lebih tinggi disbanding subjek yang membandingkan
diri dengan orang lain secara umum, baik perbandingan berupa upward maupun downward.
Min, kalo blh tau sumber nya dr mana ya? Makasih 😊
BalasHapus